Ahlan wa Sahlan

Selamat Datang di My Simple Blog "Kabar Fikri" Semoga Bermanfaat

Sabtu, 18 Mei 2013

Sejarah Berdirinya al-Washliyah

ALJAM`IYATUL WASHLIYAH merupakan organisasi Islam yang lahir pada 30 November 1930 dan bertepatan 9 Rajab 1349 H di Kota Medan, Sumatera Utara. Aljam’iyatul Washliyah yang lebih dikenal dengan sebutan Al Washliyah lahir ketika bangsa Indonesia masih dalam penjajahan Hindia Belanda (Nederlandsh Indie), sehingga pendiri Al Washliyah ketika itu turut pula berperang melawan penjajah Belanda. Tidak sedikit tokoh Al Washliyah yang ditangkap Belanda dan dijebloskan ke penjara.Tujuan utama untuk mendirikan organisasi Al Washliyah ketika itu adalah untuk mempersatukan umat yang berpecah belah dan berbeda pandangan.
Perpecahan dan perbedaan tersebut merupakan salah satu strategi Belanda untuk terus berkuasa di bumi Indonesia. Oleh karena itu, Organisasi Al Washliyah turut pula meraih kemerdekaan Indonesia dengan menggalang persatuan umat di Indonesia.
Penjajah Belanda yang menguasai bumi Indonesia terus berupaya agar bangsa Indonesia tidak bersatu, sehingga mereka terus mengadu domba rakyat. Segala cara dilakukan penjajah agar rakyat Indonesia terpecah belah. Karena bila rakyat Indonesia bersatu maka dikhawatirkan bisa melawan pejajah Belanda.Upaya memecah belah rakyat terus merasuk hingga ke sendi-sendi agama Islam. Umat Islam kala itu dapat dipecah belah lantaran perbedaan pandangan dalam hal ibadah dan cabang dari agama (furu’iyah).
Kondisi ini terus meruncing, hingga umat Islam terbagi menjadi dua kelompok yang disebut dengan kaum tua dan kaum muda. Perbedaan paham di bidang agama ini semakin hari kian tajam dan sampai pada tingkat meresahkan.
Dengan terjadinya perselisihan di kalangan umat Islam di Sumatera Utara khususnya di Kota Medan, pelajar yang menimba ilmu di Maktab Islamiyah Tapanuli Medan, berupaya untuk mempersatukan kembali umat yang terpecah belah itu. Upaya untuk mempersatukan umat Islam terus dilakukan dan akhirnya terbentuklah organisasi Al Jam’iyatul Washliyah yang artinya PERKUMPULAN YANG MENGHUBUNGKAN. Maksudnya adalah menghubungkan manusia dengan Allah SWT (hablun minallah) dan menghubungkan manusia dengan manusia (sesama umat Islam) atau hablun minannas.

Dasar al-Washliyah

“Hai orang-orang yang beriman maukah kamu aku (Allah) tunjukkan suatu perniagaan yang akan melepaskan kamu dari azab yang pedih? Berimanlah kami kepada Allah dan Rasul-Nya dan bekerjalah sungguh-sungguh pada jalan Allah dengan harta dan dirimu, itu lebih baik bagi kamu kalau kamu mengetahui”(Ash Shaaf: 10-11)

Memperhatikan salah satu seruan dan petunjuuk Allah SWT sebagaimana terlukis pada ayat di atas, dapat dipahami bahwa untuk mencapai kesuksesan hidup di dunia dan akhirat setidak-tidaknya harus terpenuhi dua syarat, pertama beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kedua berjuang secara sungguh-sungguh dengan menyumbangkan harta tenaga, pikiran, pengetahuan, keahlian, keterampilan dan sebagainya.

Agar seruan dan petunjuk Allah SWT tersebut dapat dilaksanakan secara lebih tepat guna dan berhasil guna, perlu dibentuk suatu wadah penghimpun potensi umat Islam dalam bentuk organisasi. Karena itu pada tanggal 9 Rajab 1349 H, bertepatan dengan tanggal 30 November 1930 M, dengan di pelopori oleh pelajar-pelajar Islam dari Maktab Islamiyah Tapanuli Medan antara lain : Abdur Rahman Syihab, Ismail Banda, M Arsyad Thalib Lubis, Yusuf Ahmad Lubis dan Adnan Nur Lubis, telah didirikan organisasi kemasyarakatan Islam dengan nama Al Jam’iyatul Washliyah, dengan singkat di sebut Al Washliyah. Nama ini diberikan oleh ulama besar Sumatera Utara bernama Syekh H. Muhammad Yunus.

Di samping telah berperan serta secara fisik mengusir penjajah dalam rangka memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dalam berbagai bidang pembangunan, maka Al Washliyah, yang mengandung makna saling menghubungkan, silaturahmi, kasih sayang, dan persaudaraan seluruh ummat Islam, menitik beratkan usahanya pada bidang pendidikan, dakwah, dan amal sosial.

Berdasarkan hak hukum menurut penetapan Menteri Kehakiman tanggal 17 Oktober 1956, Nomor : J-A-/74/25 dan sejalan dengan jiwa yang terkandung dalam Undang-undang Nomor 8 tahun 1985 tentang organisasi kemasyarakatan yang mandiri, Al Washliyah akan terus meningkatkan peran sertanya mencapai cita-cita kemerdekaan Indonesia secara berdaya guna dan berhasil guna, dan sebagai wadah berserikat dan meyalurkan aspirasi umat Islam dalam mengisi pembangunan Indonesia, sekaligus merupakan salah satu pengejawantahan dari pasal 28 UUD 1945, yang berbunyi: “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”.

ANGGARAN DASAR

Dalam tulisan ini hanya disebutkan Bab I - III, Pasal 1 - 6 (selebihnya dapat dilihat di websitenya langsung)

BAB I
NAMA, WAKTU DAN KEDUDUKAN

Pasal 1

(1)   Organisasi ini bernama Al jam’iyatul Washliyah dengan singkatan disebut Al Washliyah
(2)   Organisasi ini didirikan pada tanggal 9 Rajab 1349 H, bertepatan dengan tanggal 30 November 1930 M di Medan.
(3)   Pusat organisasi ini berkedudukan di Ibu Kota Negara Republik Indonesia.

BAB II
AZAS DAN AKIDAH

Pasal 2
Asas dan akidah

Al Washliyah berasaskan Islam dalam iktihad, dalam hukum fikih bermazhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dengan mengutamakan Mazhab Syafi’i.

BAB III
TUJUAN, SIFAT FUNGSI DAN USAHA

Pasal 3
Tujuan

Al Washliyah bertujuan :
a.     Mengamalkan ajaran Islam untuk kebahagiaan dunia dan akhirat
b.    Mewujudkan masyarakat yang beriman, bertaqwa, aman, damai, adil, makmur diridhai Allah Swt. dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila.
c.     Menumbuhkan gairah dan dorongan yang kuat dalam masyarakat Indonesia untuk turut berperan serta secara aktif dalam Pembangunan Nasional.

Pasal 4
Sifat

(1)       Al Washliyah organisasi yang bersifat independent.
(2)       Al Washliyah mempunyai organisasi bagian yang otonom.

Pasal 5
Fungsi

Al Washliyah sebagai organisasi kemasyarakatan Islam berfungsi :
a.     Menjalankan peran aktifnya dalam kegiatan-kegiatan untuk kemaslahatan Pembangunan nasional dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan membina masyarakat Indonesia seluruhnya yang sesuai dengan ajaran Islam
b.    Sebagai wadah penyalur kegiatan sesuai dengan kapentingan anggotanya.
c.     Menjadi wahana penggerak, pembinaan dan pengembangan warganya dalam rangka mewujudkan tujuan organisasi.
d.    Selaku sarana penghimpun dan penyalur aspirasi anggota maupun masyarakat dalam berperan aktif pada usaha memberhasilkan pembagunan nasional dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
e.     Sebagai mediator, komunikator atau menjadi fasilitator penyalur aspirasi anggotanya dalam hal menjalin komunikasi timbal balik antarorganisasi kemasyarakatan, Partai Politik, Badan Legislatif dan  Instansi Pemerintah.

Pasal 6
Usaha

Untuk mencapai ujuan organisasi, Al Washliyah melakukan usaha-usaha :
a.     Mengadakan, memperbaiki dan memperkuat hubungan persaudaraan umat Islam                    (Ukhuwah Islamiyah) dalam dan luar negeri, serta melakukan berbagai upaya untuk menegakkan keadilan dan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia ( HAM ).
b.    Melaksanakan amar makruf nahi munkar.
c.     Menyantuni fakir miskin dan memelihara serta mendidik anak miskin, yatim piatu, dan anak terlantar.
d.    Membangun lembaga-lembaga pendidikan dalam segala jenis dan jenjang pendidikan serta mengatur kesempurnaan pendidikan, pengajaran dan kebudayaan.
e.     Mengadakan berbagai pertemuan ilmiah dan pelatihan keterampilan untuk meningkatkan kualitas dan Sumber Daya Manusia ( SDM ).
f.     Memperbanyak tabligh, tazkir, taklim, penerangan dan penyuluhan di tengah-tengah umat.
g.    Meningkatkan kesejahteraan umat melalui pembinaan dan pengembangan ekonomi.
h.     Turut serta membina stabilitas nasional yang mantap dan dinamis di seluruh wilayah Republik Indonesia dalam rangka mewujudkan kondisi yang menguntungkan bagi pelaksanaan dan kesuksesan Pembangunan Nasional.
i.      Melakukan usaha-usaha lain yang di pandang perlu sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan organisasi dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Sumber: kabarwashliyah.com

Senin, 13 Mei 2013

DAULAH BANI AHMAR (Kelahiran dan Perkembangan Peradabannya)




DAULAH BANI AHMAR
(Kelahiran dan Perkembangan Peradabannya)

Makalah ini Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Sejarah Islam di Andalusia
Dosen Pengampu: Drs. Maman Abdul Malik Sy., M. S.

Disusun oleh:
Kelompok 8
Riza Nur Fikri           : 08120027

JURUSAN SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2011

BAB I
PENDAHULUAN
Pada tahun 1212 M, tentara Kristen memperoleh kemenangan besar di Las Navas de Tolesa. Kekalahan-kekalahan yang dialami Dinasti Muwahhidun menyebabkan penguasanya memilih untuk meninggalkan Spanyol dan kembali ke Afrika Utara pada tahun 1235 M. keadaan Spanyol kembali runyam, berada di bawah penguasa-penguasa kecil. Dalam kondisi demikian, umat Islam tidak mampu bertahan dari serangan-serangan Kristen yang semakin besar. Tahun 1238 M Cordova jatuh ke tangan penguasa Kristen dan Seville jatuh tahun 1248. Seluruh Spanyol kecuali Granada lepas dari kekuasaan Islam.[1]
Daulah Bani Ahmar atau disebut juga Dinasti Nashriyyah merupakan sebuah dinasti yang memperpanjang nafas pemerintahan Islam di bumi Andalusia selama kurang lebih dua setengah Abad. Dinasti Nashriyyah menjadikan kota Granada sebagai pusat pemerintahannya, dan di kota inilah peradaban Islam berkembang pesat. Dalam makalah ini dijelaskan tiga hal mengenai Dinasti Nashriyyah; yaitu asal-asul Bani Ahmar dan kelahiran Daulah Bani Ahmar, kekuatan politik Daulah Bani Ahmar, serta perkembangan ilmu dan peradabannya.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Asal-Usul Bani Ahmar dan Kelahiran Daulah Bani Ahmar
Pendiri Dinasti Nashriyyah (1232-1492) ialah Muhammad ibn Yusuf ibn Nashr yang lebih dikenal dengan nama Ibn al-Ahmar. Karenanya, nama itu menjadi nama lain bagi keluarga ini, yaitu Banu al-Ahmar.[2] Bani Nasr ini merupakan keturunan Sa’id bin Ubaidah, seorang sahabat Rasulullah Saw. dari suku Khazraj di Madinah.[3] Kemunculan penguasaan Ibn al-Ahmar sebenarnya tidak bermula di Granada, tetapi di Arjona. Daerah ini terletak di barat laut daerah Jaen dan selatan daerah Andujar, dan merupakan kubu pertahanan bagi kota Cordova di sebelah timur. Dari daerah inilah dia meluaskan kekuasaannya ke kawasan-kawasan selatan Andalus seperti kota-kota Jaen, Guadix dan Baeza karena dekat dengan Arjona dan jauh dari serangan pihak Kristen.[4]
Pada awalnya, Ibn al-Ahmar merasa perlu untuk mendapatkan perlindungan dan naungan dari pemerintahan yang lebih kuat, apakah itu dari Islam maupun Kristen. Sebagian riwayat menyatakan bahwa Ibn al-Ahmar telah mencontoh Ibn Hud dengan mengaku tunduk dan memohon bantuan Kekhalifahan Abbasiyah di Bagdad terhadap pemerintahannya di Andalus. Dengan itu Ibn al-Ahmar berhasil memperluas wilayah kekuasaannya dengan menduduki Carmona, Cordova dan Seville pada tahun 629H/1231M. Hal tersebut membuat Ibn al-Ahmar mendapatkan kesetiaan dan ketaatan penduduk setempat meskipun dalam tempo yang singkat, karena Cordova dan Seville telah beralih arah untuk mendukung dan memberikan ketaatan kepada Ibn Hud.[5]
Pada saat itu terjadi suatu pemberontakan di Seville di bawah pimpinan al-Qadi Abu Marwan al-Bajji. Kesempatan ini telah digunakan dengan sebaik-baiknya oleh Ibn al-Ahmar untuk bergabung bersama al-Bajji menentang Ibn Hud. Mereka berdua berhasil mengalahkan Ibn Hud dalam berbagai pertempuran. Ibn al-Ahmar kemudian melakukan kelicikan dengan menyingkirkan al-Bajji dan membunuhnya. Tak lama kemudian, tahun 629H/1232M, dia berhasil memperoleh ketaatan dari penduduk Jerez, Malaga dan kawasan sekitarnya. Selanjutnya disusul kota Seville dan kota-kota di bagian barat Andalusia segera tunduk dan mendapat perlindungan Ibn al-Ahmar. Situasi ini dimanfaatkan oleh Ibn al-Ahmar untuk membentuk ketentaraan yang kuat yang terdiri dari tentara berkuda dan tentara berjalan kaki.[6]
Pada tahun 631H/1234M Ibn al-Ahmar melakukan pendekatan untuk berhubungan baik dengan Ibn Hud, bahkan dia menyatakan kesetiaan kepada Ibn Hud. Hal itu disebabkan mulai bertambah hebatnya kekuasaan Ibn Hud yang meliputi bagian barat dan selatan Andalusia. Malangnya, pada tahun 1238M, Ibn Hud meninggal dunia dan kekuasaan pemerintahan yang diwarisinya mulai lemah dan berkurang. Kesempatan ini digunakan dengan sebaik-baiknya oleh Ibn al-Ahmar untuk  membangun kekuasaannya. Ketika penduduk Granada melakukan  pemberontakan di bawah pimpinan Ibn Khalid menentang gubernur Ibn Hud yang bernama `Uthbah al-Mughili. Mereka berhasil menawan istana dan membunuhnya. Setelah itu, mereka memberi ketaatan dan kesetiaan kepada Ibn al-Ahmar kemudian menjemputnya datang ke Granada. Ibn al-Ahmar segera menyahut jemputan tersebut dan tiba di Granada ketika matahari tergelincir pada akhir Ramadhan 635H/April 1238M. Pada saat itulah berdiri Daulah Bani Ahmar yang berpusat di Granada.[7] Dalam waktu hampir dua setengah abad lamanya (1232-1492), Daulah Bani Ahmar atau Dinasti Nashriyyah ini dipimpin oleh 22 sultan.[8]

B.     Kekuatan Politik Daulah Bani Ahmar
Muhammad ibn Yusuf  ibn Nashr atau Ibn al-Ahmar (1232-1273 M) menyandang gelar al-Ghalib (Sang Pemenang).[9] Al-Ghalib, Menurut pihak Kristen, terutama Ferdinand III of Castile perlu diperhatikan dan dikalahkan segera. Hal itu karena setelah kematian Ibn Hud, dia merupakan satu-satunya pemimpin Islam yang berkuasa dan menentang kekuasaan Kristen. Setelah kekalahan Ferdinand di kota Martos, Pihak Kristen Castile melakukan pembalasan dengan serangan hebat ke Arjona. Arjona berhasil ditawan, kemudian mengepung kota Granada pada tahun 642H/1244 M. Kota Jaen diserang dan berhasil ditawan sehingga membuat Ibn al-Ahmar segera mengambil langkah untuk berdamai dengan Raja Ferdinand III.[10] Ibn al-Ahmar bersedia untuk taat dan setia kepada pemerintahan Castile, serta membayar upeti kepadanya.
Ibn al-Ahmar menyerahkan beberapa wilayahnya kepada Ferdinand III yang dengan itu Ferdinand menyetujui perdamaian selama kurang lebih 20 tahun. Dalam tempo ini, era pemerintahan Ibn al-Ahmar dalam keadaan aman dan tenteram. Burns (1973:288) beranggapan bahwa tindakan yang dilakukan oleh Ibn al-Ahmar merupakan upaya dari seorang ahli politik yang licik lagi pintar. Ini dilakukan semata-mata untuk menjamin survival pemerintahan Kerajaan Nashriyyah bertahan lama di Granada.[11]
Selanjutnya Kerajaan Nashriyyah dipimpin oleh Muhammad II ibn Muhammad yang mendapat gelar Muhammad al-Faqih (1273-1302 M). Pada masa pemerintahannya, ia menghadapi serangan hebat dari pihak Kristen. Dia juga merasa resah dengan campur tangan pemimpin Banu Marin, Sultan Abu Yusuf Ya`qub ibn Abd al-Haqq, ketika memberi bantuan tentara kepada Granada dengan hasrat untuk menguasai Granada (Andalusia). Selain itu juga terdapat pemberontakan Banu Ashqilulah. Pada awalnya Muhammad II bersekutu dengan Sultan Abu Yusuf untuk melawan Banu Ashqilulah, namun pada masa berikutnya Muhammad II justru bekerjasama dengan Alfonso X of Castile menyerang Banu Marin dan Banu Ashqilulah. Akhirnya dalam hubungannya dengan Kristen Castile terjadi perjanjian perdamaian dan gencatan senjata.[12]
Sultan ketiga Kerajaan Nashriyyah adalah Muhammad III ibn Muhammad II (1302-1309 M) atau yang lebih dikenal dengan Muhammad al-Makhlu`. Dia digulingkan karena pemerintahannya lemah dan oleh pembesar Nashriyyah dianggap tidak layak memimpin. Selanjutnya, sultan keempat Nashriyyah adalah Nashr ibn Muhammad II (1309-1314 M). Pada masanya, kota Algeciras dan Gibraltar telah ditawan oleh pihak Kristen Castile pada tahun 1309 M. Ini menyebabkan Nashr setuju membayar cukai dan memberikan kesetiaannya kepada Ferdinand IV of Castile. Hal ini menyebabkan Nashr mengambil langkah untuk berhubungan baik dengan Banu Marin dan memohon bantuan tentara dengan jaminan memberikan kembali wilayah Ceuta kepada Banu Marin. Selain itu juga dengan mengawinkan saudara perempuan Sultan Abu al-Rabi` al-Marini. Akibatnya, pihak Kristen mengalami kekalahan dan harus meninggalkan Algeciras pada tahun 1310 M.[13]
Sultan Nashriyyah kelima adalah Ismail I ibn Faraj (1314-1325 M), merupakan anak saudara Nashr. Pada masanya terjadi peperangan antara Kerajaan Nashriyyah yang dibantu oleh panglima Banu Marin, Abu Sa`id `Utsman ibn al-`Ula, dengan pihak Kristen di bawah pimpinan Don Pedro dan Don Juan. Peperangan hebat itu terjadi pada tahun 1316 M di Guadix, dan pihak Kristen mengalami kekalahan. Pemerintahan Islam zaman Isma`il I merebut wilayah Baeza, Orce, Huescar, Galera dan Martos. Pada tahun 1325 M, Isma`il I dibunuh oleh sepupunya yang juga merupakan Gubernur Algeciras, Muhammad ibn Isma`il.[14]
Muhammad IV ibn Isma`il (1325-1333 M) menjadi sultan keenam, dan baru berumur sembilan tahun ketika menaiki tahta. Pemerintahan dijalankan oleh wazir bernama Ibn al-Mahruq. Pada masa pemerintahan Muhammad IV, pihak Kristen menyerang Granada. Castile melakukan serangan ke Kerajaan Nashriyyah pada tahun 1330 M dan berhasil merebut wilayah Teba. Sementara itu Muhammad IV memohon bantuan Banu Marin  yang pada waktu itu dipimpin oleh Sultan Abu al-Hasan `Ali ibn Utsman. Kepungan tentara Banu Marin atas pihak Castile di Gibraltar telah memaksa Kristen setuju untuk menandatangani perdamaian dengan Kerajaan Nashriyyah. Setelah itu, Granada dalam keadaan aman dan damai selama kurang lebih 15 tahun. Pada masa inilah, Muhammad IV berhasil menawan kota-kota Cabra, Priego, Ronda, dan Marbella.[15]
Setelah Muhammad IV wafat, adiknya, Abu al-Hajjaj Yusuf ibn Isma`il (1333-1354 M) menggantikan posisinya sebagai sultan Nashriyyah ketujuh. Zaman pemerintahan Sultan Yusuf I merupakan permulaan zaman kegemilangan tamadun Islam di Granada, namun pada masa yang sama pemerintahan Islam mengalami peristiwa yang sangat menyedihkan ketika kalah oleh pihak Kristen. Dalam peperangan itu Alfonso XI of Castile memperoleh bantuan dari ayah mertuanya , Alfonso IV of Portugal dalam peperangan sengit yang dikenal sebagai The Battle of the Rio Salado atau The Battle of Tarifa  pada 30 Oktober 1340 M.[16]
Dalam pertempuran tersebut, pihak Granada dan Banu Marin kalah telak ditangan Kristen Castile. Dengan kekalahan tentara Islam tersebut pasukan Alfonso XI dengan bantuan kerajaan-kerajaan Kristen di Eropa telah mengepung dan menyerbu Algeciras. Hal ini memandang kedudukan Algeciras yang sangat strategis dan penting sebagai sebuah pelabuhan di perairan selat Gibraltar. Akhirnya pada tahun 1344 M kota Algeciras jatuh ke tangan Castile. Kekalahan itu juga menyebabkan Sultan Abu al-Hasan terpaksa kembali ke Maghrib dan Sultan Yusuf I kembali ke Granada.[17]
Walaupun kota Tarifa dan Algeciras telah berada di bawah kekuasaan pihak Kristen, namun pemerintahan Islam di Granada berhasil memulihkan kekuatannya pada masa Sultan Muhammad V ibn Yusuf (1354-1359M, 1362-1391M) yang lebih dikenal dengan nama Muhammad al-Ghani bi Allah.  Sultan Muhammad V melakukan kebijakan untuk berhubungan baik dengan pada pihak Kristen Castile yang pada waktu itu di bawah pemeritahan Peter I. Dasar yang dipegang oleh Kerajaan Nashriyyah ketika itu adalah menyelamatkan kelangsungan pemerintahannya di Andalus. Muhammad V bersedia membantu Castile untuk melawan Aragon.[18]
Ketika itu terjadi revolusi di istana Nashriyyah yang menyebabkan Muhammad V digulingkan kedudukannya, dan pemerintahan Nashriyyah diambil oleh adik tirinya yang  bernama Isma`il II ibn Yusuf. Tidak hanya itu, Muhammad VI yang telah membantu dan merencanakan penggulingan Muhammad V juga membunuh Isma`il dan adiknya, Qais. Muhammad VI memihak kepada Kristen Aragon yang membuat Peter I of Castile memberi bantuan kepada Muhammad V yang dibuang ke Fez untuk kembali memerintah di Granada.[19]
Pertikaian antara Castile dan Aragon telah digunakan sebaik mungkin oleh Sultan Muhammad V. Dia memberi pertolongan Peter I melawan Murcia, kemudian membantu Peter I ketika terjadi perang saudara dengan adiknya untuk menuntut takhta pemerintahan Castile. Selain itu, untuk memperkokoh pemerintahan Nashriyyah, ia berhasil menawan Algeciras pada tahun 1369 M. Pada waktu itu juga kedudukan pemerintahan Banu Marin di Fez tidak stabil dengan adanya pergolakan di dalam pemerintahan. Dia juga berhasil menduduki Gibraltar dan menghapus jabatan syaikh al-ghuzah. Dengan itu, terhapuslah kekuasaan tentara Banu Marin di Andalus. Pada masa Sultan Muhammad V al-Ghani bi Allah inilah puncak keemasan pemerintahan Islam di Granada.[20]
Kegemilangan Dinasti Nashriyyah mulai menurun ketika Sultan Muhammad V wafat pada tahun 1391 M. Para penggantinya merupakan sultan-sultan yang lemah dan tidak dapat menyamai prestasi sultan-sultan sebelumnya.
  
C.    Perkembangan Ilmu dan Peradaban

Keberadaan Dinasti Nashriyyah ini berhasil membawa Islam lebih lama bercokol di Spanyol. Salah satu yang menonjol dari masa pemerintahannya ialah keberhasilan mempertahankan Islam selama dua setengah abad lamanya. Kota Granada ketika itu menjadi pusat peradaban Islam yang menarik perhatian para cendekiawan dan sastrawan, khususnya yang berada di kawasan barat Islam.[21]
Pada masa kekuasaan Daulah Bani Ahmar di Granada, perkembangan ilmu pengetahuan berkembang pesat. Universitas Granada didirikan oleh Khalifah Nashriyah ketujuh, Yusuf abu al-Hajjaj (1333-1354) yang sistem administrasinya di puji oleh penulis sejarah, Lisan al-Din ibn al-Khatib. Gedung universitas itu mempunyai gerbang yang diapit oleh patung-patung singa. Kurikulumnya meliputi kajian teologi, ilmu hukum, kedokteran, kimia, filsafat, dan astronomi. Banyak mahasiswa yang berasal dari kalangan bangsawan, dan dari luar negeri yang belajar di universitas ini.[22]
Dua tokoh yang menegaskan puncak kesempurnaan tertinggi dalam bidang literer dan juga pemahaman sejarah, yang pernah dilahirkan dunia muslim Barat adalah Ibn al-Khatib dan Ibn Khaldun. Mereka merupakan dua orang sahabat yang sekaligus juga sebagai pejabat istana Nashriyah.[23]
Lisan al-Din ibn-Khatib (1313-1374 M) berasal dari keluarga Arab yang pindah ke Spanyol dari Suriah. Di bawah kekuasaan Sulthan Nashriyah ketujuh, Yusuf Abu al-Hajjaj (1333-1354), dan putranya Muhammad V (1354-1359 M, 1362-1391 M), ia mendapat gelar yang sangat membanggakan, yaitu dzu al-wizaratain. Karya-karya yang dia tulis meliputi kajian puisi, sastra, sejarah, geografi, kedokteran, dan filsafat. Karyanya yang paling penting untuk kita saat ini adalah buku tentang sejarah Granada yang sangat kaya.[24]
Abd al-Rahman ibn Khaldun (1332-1406 M) lahir di Tunisia dari keluarga arab Spanyol yang jejak keturunannya bisa ditelusuri sampai pada sebuah suku di Hadramaut. Pada tahun 764 H (1362 M), ia berangkat ke Granada. Oleh Sulthan Bani Ahmar, Muhammad V, dia diberi tugas menjadi duta negara di Castilla dan berhasil dengan gemilang.[25] Dua tahun kemudian dia pindah ke Maroko hingga menetap di Qal`at ibn Salamah, tempat ia melai mengerjakan karyanya tentang sejarah. Peranan penting  dalam politik di Afrika Utara dan Spanyol mempersiapan dirinya secara matang untuk menulis karya besarnya yaitu Kitab al-I`bar wa Diwan al-Mubtada, wa al-Khabar fi Ayyam al-`Arab wa al-`Ajam wa al-Barbar yang pada bagian pertamanya terkenal dengan Muqaddimah.[26]
Kota Granada, Ibu kota daulah Bani Ahmar mempunyai bangunan-bangunan yang mengagumkan, di antaranya Istana al-Hamra yang tetap menjadi saksi utama bagi ketinggian seni Andalus zaman Islam dahulu.[27] Itu merupakan bukti kemajuan dan kemasyhuran peradaban Spanyol-muslim pada masa Daulah Bani Ahmar. Alhamra` (Alhambra) sendiri berarti “benteng merah”.[28] Alhamra` merupakan suatu benteng yang mewah; di dalamnya terdiri sebuah istana yang indah permai, tempat bersemayam raja-raja Bani Ahmar. Sungguh istana kerajaan ini menjadi tanda ketinggian dan kehalusan seni bangsa Arab di Andalusia.[29] Hiasannya yang kaya mozaik dan kaligrafi, dirancang dan dibangun dengan rancangan yang sangat luar biasa megah.
Pembangunan Alhamra dimulai oleh Muhammad I al-Ghalib sekitar 1248 M, konstruksinya disempurnakan oleh Abu al-Hajjaj Yusuf (1333-1354 M) dan oleh penerusnya Muhammad V al-Ghani (1354-1359). Sebagian besar dekorasi interior itu dipenuhi oleh kaligrafi di atas dinding untuk Abu al-Hajjaj. Bagian yang paling indah dan agung adalah Istana Singa. Di tengah-tengah istana itu terdapat dua belas patung singa terbuat dari porselen, tegak berdiri dalam lingkaran. Masing-masing singa itu, dan Ruang Keadilan, merupakan monumen-monumen seni yang paling penting. Ruangan itu dihiasi lukisan lukisan yang digambar di atas kulit menggambarkan kisah-kisah kepahlawanan dan adegan perburuan, di samping sepuluh penguasa yang duduk di atas bangku oval. Beberapa tulisan kaligrafi mengungkapkan moto al-Ghalib: wa la ghalib illa Allah (dan tidak ada penakluk selain Allah).[30]
Selain hal tersebut, para penguasa Bani Ahmar bersungguh-sungguh memakmurkan negeri dan memperkaya daulahnya. Maka majulah perusahaan dan perniagaan, pertukangan dan pertanian, sehingga lereng-lereng pegunungan dan lembah-lembah penuh dihampari sawah-sawah dan kebun-kebun yang menghijau.[31] Dengan memperhatikan kemajuan-kemajuan tersebut, Hamka menyatakan kota Granada dapat dibangkitkan sebagaimana yang ditegakkan oleh Abd al-Rahman Al-Nashir dahulu.[32]

BAB III
PENUTUP

            Selama hampir dua setengah abad Dinasti Nashriyyah memperpanjang eksistensi Islam di Andalusia. Kebijakan politik yang dilakukannya berubah-ubah, antara bekerjasama dengan pemerintahan Kristen di satu sisi dan bermusuhan dengan Kristen di sisi lain. Hal ini membuat para sejarawan menganggap strategi politik yang digunakan oleh Dinasti Nashriyyah ini merupakan strategi licik namun juga cerdik.
            Dinasti Nashriyyah berhasil membangun kota Granada menjadi kota yang indah dan menarik perhatian. Salah satu dengan dibangunnya Istana al-Hamra yang menunjukkan arsitektur dengan ketinggian nilai seni yang indah dan membuat takjub siapapun yang melihatnya. Selain itu juga dibangun Universitas Granada yang menarik perhatian para cendekiawan dan sastrawan.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Zainal Abidin, Sejarah Islam dan Umatnya Sampai Sekarang, Ilmu Politik Islam IV,
       Jakarta: Bulan Bintang, 1978.
Bosworth, C. E., Dinasti-dinasti Islam, terj. Ilyas Hasan, Bandung: Mizan, 1993.
ed. All, Bernard Lewis, The World of Islam: fait, people, culture, London: Thames and Hudson,
       1994.
dkk., Taufik Abdullah,  Ensiklopedia Tematis Dunia Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,
       2002.
Hamka, Sejarah Umat Islam, Jilid II, Jakarta: Bulan Bintang,
Hitti, Philip K.,  History of The Arabs, terj. Cecep Lukman Yasin & Dedi Slamet Riyadi, Jakarta:
       Serambi, 2005.
Jamsari, Ezad Azraai “Kerajaan Nasriyyah (1238-1492 M) di Granada” dalam Islamiyyat 26 (2)
       (2004).
Osman,  A. Latif,  Ringkasan Sejarah Islam, Jilid 2, Jakarta: Widjaya, 1979.
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008.
http://zonaislam.net/?p=8176, diakses pada tanggal 11 Mei 2011.
www.ukm.my/~penerbit/jurnal_pdf/jis26-01.pdf, diakses tanggal 11 Mei 2011.








[1] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), hlm. 99.
[2] Philip K. Hitti, History of The Arabs, terj. Cecep Lukman Yasin & Dedi Slamet Riyadi (Jakarta: Serambi, 2005), hlm. 698.
[3] http://zonaislam.net/?p=8176, diakses pada tanggal 11 Mei 2011.
[4] Ezad Azraai Jamsari, “Kerajaan Nasriyyah (1238-1492 M) di Granada” dalam Islamiyyat 26 (2) (2004), hlm. 8. Sebuah jurnal yang diterbitkan oleh Fakulti Pengajian Islam, Universiti Kebangsaan Malaysia. Diunduh dari www.ukm.my/~penerbit/jurnal_pdf/jis26-01.pdf, diakses pada tanggal 11 Mei 2011.
[5] Ezad Azraai Jamsari, “Kerajaan Nasriyyah, hlm. 8.
[6] Ibid. hlm. 9.
[7] Ibid.
[8] Dinasti Nashriyyah dipimpin oleh 22 sultan selama hampir dua setengah abad dimana ada beberapa sultan yang memerintah lebih dari satu kali; diantaranya Muhammad V memerintah pada tahun 1354-1359M dan 1362-1391M, Muhammad VIII memerintah pada tahun 1407-1419 dan 1427-1430. Selengkapnya baca C. E. Bosworth, Dinasti-dinasti Islam, terj. Ilyas Hasan (Bandung: Mizan, 1993), hlm. 41.
[9] Philip K. Hitti, History of The Arabs, hlm. 699.
[10] Ezad Azraai Jamsari, “Kerajaan Nasriyyah, hlm. 10.
[11] Ibid. hlm. 11.
[12] Ibid. hlm. 12.
[13] Ibid. hlm. 13.
[14] Ibid.
[15] Ibid. hlm. 14.
[16] Ibid. hlm. 15.
[17] Ibid. hlm. 16.
[18] Ibid.
[19] Ibid. hlm. 17.
[20] Ibid.
[21] Taufik Abdullah dkk., Ensiklopedia Tematis Dunia Islam (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), hlm. 212.
[22] Philip K. Hitti, History of The Arabs, hlm. 716.
[23] Ibid., hlm. 721.
[24] Ibid., hlm. 722.
[25] Badri Yatim, Historiografi Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 141.
[26] Philip K. Hitti, History of The Arabs, hlm. 722-723.
[27] Zainal Abidin Ahmad, Sejarah Islam dan Umatnya Sampai Sekarang, Ilmu Politik Islam IV (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), hlm. 213.
[28] C. E. Bosworth, Dinasti-dinasti Islam, terj. Ilyas Hasan (Bandung: Mizan, 1993), hlm. 41.
[29] A. Latif Osman,  Ringkasan Sejarah Islam, Jilid 2 (Jakarta: Widjaya, 1979), hlm. 39.
[30] Philip K. Hitti, History of The Arabs, hlm. 761.
[31] A. Latif Osman,  Ringkasan Sejarah Islam, 39.
[32] Hamka, Sejarah Umat Islam, Jilid II (Jakarta: Bulan Bintang, ), hlm. 144.