(Kelahiran dan Perkembangan
Peradabannya)
Makalah
ini Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata
Kuliah: Sejarah Islam di Andalusia
Dosen
Pengampu: Drs. Maman Abdul Malik Sy., M. S.
Disusun
oleh:
Kelompok 8
Riza
Nur Fikri : 08120027
JURUSAN SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2011
BAB
I
PENDAHULUAN
Pada tahun 1212 M, tentara Kristen memperoleh kemenangan besar di Las
Navas de Tolesa. Kekalahan-kekalahan yang dialami Dinasti Muwahhidun
menyebabkan penguasanya memilih untuk meninggalkan Spanyol dan kembali ke
Afrika Utara pada tahun 1235 M. keadaan Spanyol kembali runyam, berada di bawah
penguasa-penguasa kecil. Dalam kondisi demikian, umat Islam tidak mampu
bertahan dari serangan-serangan Kristen yang semakin besar. Tahun 1238 M
Cordova jatuh ke tangan penguasa Kristen dan Seville jatuh tahun 1248. Seluruh
Spanyol kecuali Granada lepas dari kekuasaan Islam.[1]
Daulah Bani Ahmar atau disebut juga Dinasti Nashriyyah merupakan sebuah
dinasti yang memperpanjang nafas pemerintahan Islam di bumi Andalusia selama
kurang lebih dua setengah Abad. Dinasti Nashriyyah menjadikan kota Granada
sebagai pusat pemerintahannya, dan di kota inilah peradaban Islam berkembang
pesat. Dalam makalah ini dijelaskan tiga hal mengenai Dinasti Nashriyyah; yaitu
asal-asul Bani Ahmar dan kelahiran Daulah Bani Ahmar, kekuatan politik Daulah
Bani Ahmar, serta perkembangan ilmu dan peradabannya.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Asal-Usul
Bani Ahmar dan Kelahiran Daulah Bani Ahmar
Pendiri Dinasti Nashriyyah (1232-1492) ialah Muhammad ibn Yusuf ibn Nashr
yang lebih dikenal dengan nama Ibn al-Ahmar. Karenanya, nama itu menjadi nama
lain bagi keluarga ini, yaitu Banu al-Ahmar.[2]
Bani Nasr ini merupakan keturunan Sa’id bin Ubaidah, seorang sahabat Rasulullah
Saw. dari suku Khazraj di Madinah.[3]
Kemunculan penguasaan Ibn al-Ahmar sebenarnya tidak bermula di Granada, tetapi
di Arjona. Daerah ini terletak di barat laut daerah Jaen dan selatan daerah
Andujar, dan merupakan kubu pertahanan bagi kota Cordova di sebelah timur. Dari
daerah inilah dia meluaskan kekuasaannya ke kawasan-kawasan selatan Andalus
seperti kota-kota Jaen, Guadix dan Baeza karena dekat dengan Arjona dan jauh
dari serangan pihak Kristen.[4]
Pada awalnya, Ibn al-Ahmar merasa perlu untuk mendapatkan perlindungan
dan naungan dari pemerintahan yang lebih kuat, apakah itu dari Islam maupun
Kristen. Sebagian riwayat menyatakan bahwa Ibn al-Ahmar telah mencontoh Ibn Hud
dengan mengaku tunduk dan memohon bantuan Kekhalifahan Abbasiyah di Bagdad
terhadap pemerintahannya di Andalus. Dengan itu Ibn al-Ahmar berhasil
memperluas wilayah kekuasaannya dengan menduduki Carmona, Cordova dan Seville
pada tahun 629H/1231M. Hal tersebut membuat Ibn al-Ahmar mendapatkan kesetiaan
dan ketaatan penduduk setempat meskipun dalam tempo yang singkat, karena
Cordova dan Seville telah beralih arah untuk mendukung dan memberikan ketaatan
kepada Ibn Hud.[5]
Pada saat itu terjadi suatu pemberontakan di Seville di bawah pimpinan
al-Qadi Abu Marwan al-Bajji. Kesempatan ini telah digunakan dengan
sebaik-baiknya oleh Ibn al-Ahmar untuk bergabung bersama al-Bajji menentang Ibn
Hud. Mereka berdua berhasil mengalahkan Ibn Hud dalam berbagai pertempuran. Ibn
al-Ahmar kemudian melakukan kelicikan dengan menyingkirkan al-Bajji dan
membunuhnya. Tak lama kemudian, tahun 629H/1232M, dia berhasil memperoleh
ketaatan dari penduduk Jerez, Malaga dan kawasan sekitarnya. Selanjutnya
disusul kota Seville dan kota-kota di bagian barat Andalusia segera tunduk dan
mendapat perlindungan Ibn al-Ahmar. Situasi ini dimanfaatkan oleh Ibn al-Ahmar
untuk membentuk ketentaraan yang kuat yang terdiri dari tentara berkuda dan
tentara berjalan kaki.[6]
Pada tahun 631H/1234M Ibn al-Ahmar melakukan pendekatan untuk berhubungan
baik dengan Ibn Hud, bahkan dia menyatakan kesetiaan kepada Ibn Hud. Hal itu
disebabkan mulai bertambah hebatnya kekuasaan Ibn Hud yang meliputi bagian
barat dan selatan Andalusia. Malangnya, pada tahun 1238M, Ibn Hud meninggal
dunia dan kekuasaan pemerintahan yang diwarisinya mulai lemah dan berkurang.
Kesempatan ini digunakan dengan sebaik-baiknya oleh Ibn al-Ahmar untuk membangun kekuasaannya. Ketika penduduk
Granada melakukan pemberontakan di bawah
pimpinan Ibn Khalid menentang gubernur Ibn Hud yang bernama `Uthbah al-Mughili.
Mereka berhasil menawan istana dan membunuhnya. Setelah itu, mereka memberi
ketaatan dan kesetiaan kepada Ibn al-Ahmar kemudian menjemputnya datang ke
Granada. Ibn al-Ahmar segera menyahut jemputan tersebut dan tiba di Granada
ketika matahari tergelincir pada akhir Ramadhan 635H/April 1238M. Pada saat
itulah berdiri Daulah Bani Ahmar yang berpusat di Granada.[7]
Dalam waktu hampir dua setengah abad lamanya (1232-1492), Daulah Bani Ahmar
atau Dinasti Nashriyyah ini dipimpin oleh 22 sultan.[8]
B.
Kekuatan
Politik Daulah Bani Ahmar
Muhammad ibn Yusuf
ibn Nashr atau Ibn al-Ahmar (1232-1273 M) menyandang gelar al-Ghalib (Sang Pemenang).[9] Al-Ghalib,
Menurut pihak Kristen, terutama Ferdinand III of Castile perlu diperhatikan dan
dikalahkan segera. Hal itu karena setelah kematian Ibn Hud, dia merupakan
satu-satunya pemimpin Islam yang berkuasa dan menentang kekuasaan Kristen.
Setelah kekalahan Ferdinand di kota Martos, Pihak Kristen Castile melakukan
pembalasan dengan serangan hebat ke Arjona. Arjona berhasil ditawan, kemudian
mengepung kota Granada pada tahun 642H/1244 M. Kota Jaen diserang dan berhasil
ditawan sehingga membuat Ibn al-Ahmar segera mengambil langkah untuk berdamai
dengan Raja Ferdinand III.[10]
Ibn al-Ahmar bersedia untuk taat dan setia kepada pemerintahan Castile, serta
membayar upeti kepadanya.
Ibn al-Ahmar menyerahkan beberapa wilayahnya kepada
Ferdinand III yang dengan itu Ferdinand menyetujui perdamaian selama kurang
lebih 20 tahun. Dalam tempo ini, era pemerintahan Ibn al-Ahmar dalam keadaan
aman dan tenteram. Burns (1973:288) beranggapan bahwa tindakan yang dilakukan
oleh Ibn al-Ahmar merupakan upaya dari seorang ahli politik yang licik lagi
pintar. Ini dilakukan semata-mata untuk menjamin survival pemerintahan Kerajaan Nashriyyah bertahan lama di Granada.[11]
Selanjutnya Kerajaan Nashriyyah dipimpin oleh
Muhammad II ibn Muhammad yang mendapat gelar Muhammad al-Faqih (1273-1302 M). Pada masa pemerintahannya, ia menghadapi
serangan hebat dari pihak Kristen. Dia juga merasa resah dengan campur tangan
pemimpin Banu Marin, Sultan Abu Yusuf Ya`qub ibn Abd al-Haqq, ketika memberi
bantuan tentara kepada Granada dengan hasrat untuk menguasai Granada
(Andalusia). Selain itu juga terdapat pemberontakan Banu Ashqilulah. Pada
awalnya Muhammad II bersekutu dengan Sultan Abu Yusuf untuk melawan Banu
Ashqilulah, namun pada masa berikutnya Muhammad II justru bekerjasama dengan
Alfonso X of Castile menyerang Banu Marin dan Banu Ashqilulah. Akhirnya dalam
hubungannya dengan Kristen Castile terjadi perjanjian perdamaian dan gencatan
senjata.[12]
Sultan ketiga Kerajaan Nashriyyah adalah Muhammad
III ibn Muhammad II (1302-1309 M) atau yang lebih dikenal dengan Muhammad al-Makhlu`. Dia digulingkan karena
pemerintahannya lemah dan oleh pembesar Nashriyyah dianggap tidak layak
memimpin. Selanjutnya, sultan keempat Nashriyyah adalah Nashr ibn Muhammad II
(1309-1314 M). Pada masanya, kota Algeciras dan Gibraltar telah ditawan oleh
pihak Kristen Castile pada tahun 1309 M. Ini menyebabkan Nashr setuju membayar
cukai dan memberikan kesetiaannya kepada Ferdinand IV of Castile. Hal ini
menyebabkan Nashr mengambil langkah untuk berhubungan baik dengan Banu Marin
dan memohon bantuan tentara dengan jaminan memberikan kembali wilayah Ceuta
kepada Banu Marin. Selain itu juga dengan mengawinkan saudara perempuan Sultan
Abu al-Rabi` al-Marini. Akibatnya, pihak Kristen mengalami kekalahan dan harus
meninggalkan Algeciras pada tahun 1310 M.[13]
Sultan Nashriyyah kelima adalah Ismail I ibn Faraj
(1314-1325 M), merupakan anak saudara Nashr. Pada masanya terjadi peperangan
antara Kerajaan Nashriyyah yang dibantu oleh panglima Banu Marin, Abu Sa`id
`Utsman ibn al-`Ula, dengan pihak Kristen di bawah pimpinan Don Pedro dan Don
Juan. Peperangan hebat itu terjadi pada tahun 1316 M di Guadix, dan pihak
Kristen mengalami kekalahan. Pemerintahan Islam zaman Isma`il I merebut wilayah
Baeza, Orce, Huescar, Galera dan Martos. Pada tahun 1325 M, Isma`il I dibunuh
oleh sepupunya yang juga merupakan Gubernur Algeciras, Muhammad ibn Isma`il.[14]
Muhammad IV ibn Isma`il (1325-1333 M) menjadi sultan
keenam, dan baru berumur sembilan tahun ketika menaiki tahta. Pemerintahan
dijalankan oleh wazir bernama Ibn
al-Mahruq. Pada masa pemerintahan Muhammad IV, pihak Kristen menyerang Granada.
Castile melakukan serangan ke Kerajaan Nashriyyah pada tahun 1330 M dan
berhasil merebut wilayah Teba. Sementara itu Muhammad IV memohon bantuan Banu
Marin yang pada waktu itu dipimpin oleh
Sultan Abu al-Hasan `Ali ibn Utsman. Kepungan tentara Banu Marin atas pihak
Castile di Gibraltar telah memaksa Kristen setuju untuk menandatangani
perdamaian dengan Kerajaan Nashriyyah. Setelah itu, Granada dalam keadaan aman
dan damai selama kurang lebih 15 tahun. Pada masa inilah, Muhammad IV berhasil
menawan kota-kota Cabra, Priego, Ronda, dan Marbella.[15]
Setelah Muhammad IV wafat, adiknya, Abu al-Hajjaj
Yusuf ibn Isma`il (1333-1354 M) menggantikan posisinya sebagai sultan
Nashriyyah ketujuh. Zaman pemerintahan Sultan Yusuf I merupakan permulaan zaman
kegemilangan tamadun Islam di Granada, namun pada masa yang sama pemerintahan
Islam mengalami peristiwa yang sangat menyedihkan ketika kalah oleh pihak
Kristen. Dalam peperangan itu Alfonso XI of Castile memperoleh bantuan dari
ayah mertuanya , Alfonso IV of Portugal dalam peperangan sengit yang dikenal
sebagai The Battle of the Rio Salado atau
The Battle of Tarifa pada 30 Oktober 1340 M.[16]
Dalam pertempuran tersebut, pihak Granada dan Banu
Marin kalah telak ditangan Kristen Castile. Dengan kekalahan tentara Islam
tersebut pasukan Alfonso XI dengan bantuan kerajaan-kerajaan Kristen di Eropa
telah mengepung dan menyerbu Algeciras. Hal ini memandang kedudukan Algeciras
yang sangat strategis dan penting sebagai sebuah pelabuhan di perairan selat
Gibraltar. Akhirnya pada tahun 1344 M kota Algeciras jatuh ke tangan Castile.
Kekalahan itu juga menyebabkan Sultan Abu al-Hasan terpaksa kembali ke Maghrib
dan Sultan Yusuf I kembali ke Granada.[17]
Walaupun kota Tarifa dan Algeciras telah berada di
bawah kekuasaan pihak Kristen, namun pemerintahan Islam di Granada berhasil
memulihkan kekuatannya pada masa Sultan Muhammad V ibn Yusuf (1354-1359M,
1362-1391M) yang lebih dikenal dengan nama Muhammad al-Ghani bi Allah. Sultan Muhammad V melakukan kebijakan untuk
berhubungan baik dengan pada pihak Kristen Castile yang pada waktu itu di bawah
pemeritahan Peter I. Dasar yang dipegang oleh Kerajaan Nashriyyah ketika itu
adalah menyelamatkan kelangsungan pemerintahannya di Andalus. Muhammad V
bersedia membantu Castile untuk melawan Aragon.[18]
Ketika itu terjadi revolusi di istana Nashriyyah
yang menyebabkan Muhammad V digulingkan kedudukannya, dan pemerintahan
Nashriyyah diambil oleh adik tirinya yang
bernama Isma`il II ibn Yusuf. Tidak hanya itu, Muhammad VI yang telah
membantu dan merencanakan penggulingan Muhammad V juga membunuh Isma`il dan
adiknya, Qais. Muhammad VI memihak kepada Kristen Aragon yang membuat Peter I
of Castile memberi bantuan kepada Muhammad V yang dibuang ke Fez untuk kembali
memerintah di Granada.[19]
Pertikaian antara Castile dan Aragon telah digunakan
sebaik mungkin oleh Sultan Muhammad V. Dia memberi pertolongan Peter I melawan
Murcia, kemudian membantu Peter I ketika terjadi perang saudara dengan adiknya
untuk menuntut takhta pemerintahan Castile. Selain itu, untuk memperkokoh
pemerintahan Nashriyyah, ia berhasil menawan Algeciras pada tahun 1369 M. Pada
waktu itu juga kedudukan pemerintahan Banu Marin di Fez tidak stabil dengan
adanya pergolakan di dalam pemerintahan. Dia juga berhasil menduduki Gibraltar
dan menghapus jabatan syaikh al-ghuzah.
Dengan itu, terhapuslah kekuasaan tentara Banu Marin di Andalus. Pada masa
Sultan Muhammad V al-Ghani bi Allah
inilah puncak keemasan pemerintahan Islam di Granada.[20]
Kegemilangan
Dinasti Nashriyyah mulai menurun ketika Sultan Muhammad V wafat pada tahun 1391
M. Para penggantinya merupakan sultan-sultan yang lemah dan tidak dapat
menyamai prestasi sultan-sultan sebelumnya.
C.
Perkembangan
Ilmu dan Peradaban
Keberadaan Dinasti Nashriyyah ini berhasil membawa
Islam lebih lama bercokol di Spanyol. Salah satu yang menonjol dari masa
pemerintahannya ialah keberhasilan mempertahankan Islam selama dua setengah
abad lamanya. Kota Granada ketika itu menjadi pusat peradaban Islam yang
menarik perhatian para cendekiawan dan sastrawan, khususnya yang berada di
kawasan barat Islam.[21]
Pada masa kekuasaan Daulah Bani Ahmar di Granada,
perkembangan ilmu pengetahuan berkembang pesat. Universitas Granada didirikan
oleh Khalifah Nashriyah ketujuh, Yusuf abu al-Hajjaj (1333-1354) yang sistem
administrasinya di puji oleh penulis sejarah, Lisan al-Din ibn al-Khatib.
Gedung universitas itu mempunyai gerbang yang diapit oleh patung-patung singa.
Kurikulumnya meliputi kajian teologi, ilmu hukum, kedokteran, kimia, filsafat,
dan astronomi. Banyak mahasiswa yang berasal dari kalangan bangsawan, dan dari
luar negeri yang belajar di universitas ini.[22]
Dua tokoh yang menegaskan puncak kesempurnaan
tertinggi dalam bidang literer dan juga pemahaman sejarah, yang pernah
dilahirkan dunia muslim Barat adalah Ibn al-Khatib dan Ibn Khaldun. Mereka
merupakan dua orang sahabat yang sekaligus juga sebagai pejabat istana
Nashriyah.[23]
Lisan al-Din ibn-Khatib (1313-1374 M) berasal dari
keluarga Arab yang pindah ke Spanyol dari Suriah. Di bawah kekuasaan Sulthan
Nashriyah ketujuh, Yusuf Abu al-Hajjaj (1333-1354), dan putranya Muhammad V
(1354-1359 M, 1362-1391 M), ia mendapat gelar yang sangat membanggakan, yaitu dzu al-wizaratain. Karya-karya yang dia
tulis meliputi kajian puisi, sastra, sejarah, geografi, kedokteran, dan
filsafat. Karyanya yang paling penting untuk kita saat ini adalah buku tentang
sejarah Granada yang sangat kaya.[24]
Abd al-Rahman ibn Khaldun (1332-1406 M) lahir di
Tunisia dari keluarga arab Spanyol yang jejak keturunannya bisa ditelusuri
sampai pada sebuah suku di Hadramaut. Pada tahun 764 H (1362 M), ia berangkat
ke Granada. Oleh Sulthan Bani Ahmar, Muhammad V, dia diberi tugas menjadi duta
negara di Castilla dan berhasil dengan gemilang.[25]
Dua tahun kemudian dia pindah ke Maroko hingga menetap di Qal`at ibn Salamah,
tempat ia melai mengerjakan karyanya tentang sejarah. Peranan penting dalam politik di Afrika Utara dan Spanyol
mempersiapan dirinya secara matang untuk menulis karya besarnya yaitu Kitab al-I`bar wa Diwan al-Mubtada, wa al-Khabar
fi Ayyam al-`Arab wa al-`Ajam wa al-Barbar yang pada bagian pertamanya terkenal
dengan Muqaddimah.[26]
Kota Granada, Ibu kota daulah Bani Ahmar mempunyai
bangunan-bangunan yang mengagumkan, di antaranya Istana al-Hamra yang tetap
menjadi saksi utama bagi ketinggian seni Andalus zaman Islam dahulu.[27] Itu
merupakan bukti kemajuan dan kemasyhuran peradaban Spanyol-muslim pada masa
Daulah Bani Ahmar. Alhamra` (Alhambra) sendiri berarti “benteng merah”.[28]
Alhamra` merupakan suatu benteng yang mewah; di dalamnya terdiri sebuah istana
yang indah permai, tempat bersemayam raja-raja Bani Ahmar. Sungguh istana
kerajaan ini menjadi tanda ketinggian dan kehalusan seni bangsa Arab di
Andalusia.[29]
Hiasannya yang kaya mozaik dan kaligrafi, dirancang dan dibangun dengan
rancangan yang sangat luar biasa megah.
Pembangunan Alhamra dimulai oleh Muhammad I
al-Ghalib sekitar 1248 M, konstruksinya disempurnakan oleh Abu al-Hajjaj Yusuf
(1333-1354 M) dan oleh penerusnya Muhammad V al-Ghani (1354-1359). Sebagian
besar dekorasi interior itu dipenuhi oleh kaligrafi di atas dinding untuk Abu
al-Hajjaj. Bagian yang paling indah dan agung adalah Istana Singa. Di
tengah-tengah istana itu terdapat dua belas patung singa terbuat dari porselen,
tegak berdiri dalam lingkaran. Masing-masing singa itu, dan Ruang Keadilan,
merupakan monumen-monumen seni yang paling penting. Ruangan itu dihiasi lukisan
lukisan yang digambar di atas kulit menggambarkan kisah-kisah kepahlawanan dan
adegan perburuan, di samping sepuluh penguasa yang duduk di atas bangku oval.
Beberapa tulisan kaligrafi mengungkapkan moto al-Ghalib: wa la ghalib illa Allah (dan tidak ada penakluk selain Allah).[30]
Selain hal tersebut, para penguasa Bani Ahmar
bersungguh-sungguh memakmurkan negeri dan memperkaya daulahnya. Maka majulah
perusahaan dan perniagaan, pertukangan dan pertanian, sehingga lereng-lereng
pegunungan dan lembah-lembah penuh dihampari sawah-sawah dan kebun-kebun yang
menghijau.[31]
Dengan memperhatikan kemajuan-kemajuan tersebut, Hamka menyatakan kota Granada
dapat dibangkitkan sebagaimana yang ditegakkan oleh Abd al-Rahman Al-Nashir
dahulu.[32]
BAB
III
PENUTUP
Selama hampir dua setengah abad
Dinasti Nashriyyah memperpanjang eksistensi Islam di Andalusia. Kebijakan
politik yang dilakukannya berubah-ubah, antara bekerjasama dengan pemerintahan
Kristen di satu sisi dan bermusuhan dengan Kristen di sisi lain. Hal ini
membuat para sejarawan menganggap strategi politik yang digunakan oleh Dinasti
Nashriyyah ini merupakan strategi licik namun juga cerdik.
Dinasti Nashriyyah berhasil
membangun kota Granada menjadi kota yang indah dan menarik perhatian. Salah
satu dengan dibangunnya Istana al-Hamra yang menunjukkan arsitektur dengan
ketinggian nilai seni yang indah dan membuat takjub siapapun yang melihatnya.
Selain itu juga dibangun Universitas Granada yang menarik perhatian para
cendekiawan dan sastrawan.
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmad,
Zainal Abidin, Sejarah Islam dan Umatnya
Sampai Sekarang, Ilmu Politik Islam IV,
Jakarta: Bulan Bintang, 1978.
Bosworth, C. E., Dinasti-dinasti
Islam, terj. Ilyas Hasan, Bandung: Mizan, 1993.
ed. All, Bernard Lewis, The World of Islam: fait, people, culture,
London: Thames and Hudson,
1994.
dkk., Taufik Abdullah, Ensiklopedia
Tematis Dunia Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,
2002.
Hamka, Sejarah
Umat Islam, Jilid II, Jakarta: Bulan Bintang,
Hitti, Philip K.,
History of The Arabs, terj.
Cecep Lukman Yasin & Dedi Slamet Riyadi, Jakarta:
Serambi,
2005.
Jamsari, Ezad Azraai “Kerajaan Nasriyyah (1238-1492
M) di Granada” dalam Islamiyyat 26 (2)
(2004).
Osman, A. Latif,
Ringkasan Sejarah Islam, Jilid
2, Jakarta: Widjaya, 1979.
Yatim, Badri, Sejarah
Peradaban Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008.
http://zonaislam.net/?p=8176, diakses pada
tanggal 11 Mei 2011.
www.ukm.my/~penerbit/jurnal_pdf/jis26-01.pdf,
diakses tanggal 11 Mei 2011.
http://de.wikipedia.org/wiki/Emirat_von_Granada, diakses tanggal 11 Mei 2011.
http://en.wikipedia.org/wiki/Emirate_of_Granada,
diakses tanggal 11 Mei 2011.
[1]
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), hlm. 99.
[2]
Philip K. Hitti, History of The Arabs, terj.
Cecep Lukman Yasin & Dedi Slamet Riyadi (Jakarta: Serambi, 2005), hlm. 698.
[3] http://zonaislam.net/?p=8176, diakses pada
tanggal 11 Mei 2011.
[4]
Ezad Azraai Jamsari, “Kerajaan Nasriyyah
(1238-1492 M) di Granada” dalam Islamiyyat
26 (2) (2004), hlm. 8. Sebuah jurnal yang diterbitkan oleh Fakulti
Pengajian Islam, Universiti Kebangsaan Malaysia. Diunduh dari www.ukm.my/~penerbit/jurnal_pdf/jis26-01.pdf, diakses pada tanggal 11 Mei 2011.
[5]
Ezad Azraai Jamsari, “Kerajaan Nasriyyah, hlm. 8.
[6] Ibid. hlm. 9.
[7] Ibid.
[8]
Dinasti Nashriyyah dipimpin oleh 22 sultan selama hampir dua setengah abad
dimana ada beberapa sultan yang memerintah lebih dari satu kali; diantaranya
Muhammad V memerintah pada tahun 1354-1359M
dan 1362-1391M, Muhammad VIII memerintah pada tahun 1407-1419 dan
1427-1430. Selengkapnya baca C. E. Bosworth, Dinasti-dinasti Islam, terj. Ilyas Hasan (Bandung: Mizan, 1993),
hlm. 41.
[9]
Philip K. Hitti, History of The Arabs,
hlm. 699.
[10]
Ezad Azraai Jamsari, “Kerajaan Nasriyyah, hlm. 10.
[11] Ibid. hlm. 11.
[12] Ibid. hlm. 12.
[13] Ibid. hlm. 13.
[14] Ibid.
[15] Ibid. hlm. 14.
[16] Ibid. hlm. 15.
[17] Ibid. hlm. 16.
[18] Ibid.
[19] Ibid. hlm. 17.
[20] Ibid.
[21]
Taufik Abdullah dkk., Ensiklopedia
Tematis Dunia Islam (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), hlm. 212.
[22]
Philip K. Hitti, History of The Arabs,
hlm. 716.
[23] Ibid., hlm. 721.
[24] Ibid., hlm. 722.
[25]
Badri Yatim, Historiografi Islam
(Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 141.
[26]
Philip K. Hitti, History of The Arabs,
hlm. 722-723.
[27]
Zainal Abidin Ahmad, Sejarah Islam dan
Umatnya Sampai Sekarang, Ilmu Politik Islam IV (Jakarta: Bulan Bintang,
1978), hlm. 213.
[28]
C. E. Bosworth, Dinasti-dinasti Islam,
terj. Ilyas Hasan (Bandung: Mizan, 1993), hlm. 41.
[29]
A. Latif Osman, Ringkasan Sejarah Islam, Jilid 2 (Jakarta:
Widjaya, 1979), hlm. 39.
[30]
Philip K. Hitti, History of The Arabs,
hlm. 761.
[31]
A. Latif Osman, Ringkasan Sejarah Islam, 39.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar