Depresi ekonomi yang melanda Eropa tahun 1920-an secara tidak langsung
berdampak siginifikan terhadap perkembangan sepakbola Hindia Belanda.
Bagaimana itu bisa terjadi?
Efek domino tersebut bermula ketika harga jual nilai ekspor hasil bumi pemerintah Kolonial Hindia Belanda di Indonesia merosot tajam di pasar Eropa. Hal ini berimbas pada banyaknya perusahan dan pabrik-pabrik yang gulung tikar.
Kondisi ini mau tak mau membuat terjadi PHK massal di berbagai daerah. Krisis ekonomi ini diperparah dengan harga jual hasil pertanian yang sangat rendah, penduduk pun enggan untuk menjadi petani, karena hasil tani hanya mampu mencukupi kebutuhan makan ala kadarnya.
Di masa kritis ini, muncul sepakbola yang semula hanya dijadikan sebagai alat untuk olahraga dan bersenang-senang, mengalami pergeseran makna menjadi 100% lahan bisnis mencari uang. Upaya industrialisasi sepakbola di bumi Nusantara pun dimulai. Pekerjaan sebagai "pemain sepakbola" mulai
dicari-cari orang. Para pencari bakat dari rombongan opera, pertunjukan sandiwara dan klub-klub sepakbola mulai berkeliling kampung ke kampung mencari bakat-bakat yang bisa laku dijual saat dipertunjukan pada penonton.
Di zaman itu, pertandingan sepakbola tak hanya di pertandingkan oleh klub saja, rombongan opera dan sandiwara pun kerap mengadakan pertandingan sepakbola. Di malam hari pemain mempersiapkan panggung, di siang harinya mereka harus bermain bola.
Sepakbola menjadi daya tarik ekonomi karenanya para penonton mulai diwajibkan membeli karcis saat pertandingan-pertandingan digelar. Reklame-reklame iklan dari berbagai macam toko pun mulai dipasang di sekeliling lapangan.
Hasil dari bisnis sepakbola ternyata cukup menggiurkan. Meskipun dompet cekak, para gila bola ini ternyata tak sungkan mengeluarkan uangnya untuk sekedar menyaksikan hiburan bola. Dalam pertandingan ujicoba persahabatan di Bandung Tahun 1922, Nederlandsch Indische Voetbal Bond (NIVB) --PSSI nya Hindia Belanda-- berhasil meraup untung 12.425 Gulden dari 12.559 orang yang hadir di lapangan pertandingan. Jumlah ini sangatlah besar di zamannya.
Berbeda dengan NIVB yang mengksploitasi sepakbola untuk keuntungan bisnis, hasil penjualan karcis pertandingan tim-tim pribumi semuanya diberikan untuk kegiatan sosial dan pendidikan.
Vorstenlandsche Voetbal Bond (VVB) --cikal Bakal Persis Solo-- berhasil menggalang dana Rp 32.000 dari turnamen sepakbola yang digelar untuk memeriahkan pasar malam untuk pelajar tahun 1924. Di tempat yang sama, tahun 1927, Muhammadiyah menggelar pertandingan yang hasil keuntungan diserahkan kepada pedagang korban kebakaran di Pasar Baru.
Dari Surakarta, Surabaya dan kembali ke Surakarta
Makin kuatnya kesadaran politik di kalangan rakyat bumiputera yang semakin bertambah membuat adanya inisiasi untuk membentuk suatu organisasi sepakbola yang mampu menyatukan semua bond-bond di berbagai daerah. Tindakan itu dilakukan karena olahraga merupakan satu pondasi alat untuk pergerakan nasional.
Realisasi mimpi ini hampir tercapai di tahun 1924 saat di mana Dr. Wediodiningrat, Djaksodipuro dan Wongsonegoro selaku pengurus VVB mendirikan suatu organisasi sepakbola seluruh Jawa yang dinamai Javasche Voetbal Bond (JVB) Sayangnya kendati kepengurusan organisasi sudah dibentuk usaha tersebut kandas, karena tidak adanya respon dari bond-bond di luar Surakarta untuk bergabung bersama mereka, JVB pun membubarkan diri.
Sebelum hadirnya JVB, Midle Javasche Voetbal Bond (MJVB) telah dibentuk di Solo untuk mempersatukan semua bond pribumi di Jawa Tengah, tragisnya MJVB mengalami nasib yang sama dengan penerusnya.
Selang 3 tahun kemudian, 2 Oktober 1927, di Surabaya berdiri organisasi baru yang dinamai Indonesische Voetbal Bond (IVB), organisasi ini diinisiasi Soebroto, R.T Tjidarboemi, A.Soeroto dan Soedarboemi. Keempat orang ini merupakan perwakilan dari empat persatuan sepakbola, yaitu Soerabaja Indonesische Voetbal Bond (SIVB), Vorsterlansche Voetbal Bond (VVB), Bandoengsche Indonesische Voetbal Bond (BIVB) dan PS Hizboel Wathan (Jogja).
Untuk memperlebar sayap IVB, maka wakil-wakil bond yang datang diberi tugas menginformasikan telah lahirnya organisasi bola milik pribumi kepada klub-klub di regionnya. R.T Tjidarboemi ke wilayah Jawa Barat, A. Soeroto ke Jawa Tengah dan Soedarboemi ke Jawa Timur. Agar terkesan lebih nasionalis, IVB menggunakan lambang "gula aren" yang berwarna warna merah dan warna putih sebagai dasar lambang mereka, tak lupa di tengahnya diberi tulisan IVB.
Untuk mempermudah kerja organisasi maka pengelolaan IVB dipusatkan di Surabaya. Penempatan ini beralasan karena hubungan harmonis antara Soerabaja Indonesische Voetbal Bond (SIVB) selaku bond pribumi dan Soerabaja Voetbal Bond (SVB) bond milik Belanda membuat persepakbolaan di Surabaya cenderung lebih adem. Kontras jika dibandingkan dengan kota-kota lain seperti Jakarta dan Bandung, di mana klub-klub pribumi mengalami banyak kesulitan saat harus bersinggungan dengan bond-bond Belanda.
Perjuangan pergerakan yang semakin memuncak dengan dideklarasikannya Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 di Jakarta, membuat sepakbola yang secara sadar dijadikan sebagai alat perjuangan mau tak mau harus makin sejalan dengan kecenderungan para aktivis pergerakan. Sayangnya, kedekatan IVB dengan insan sepakbola Belanda membuat IVB lupa diri dan melenceng dari tujuan semula.
"Bagaimanapun juga selamanya tidak akan ada kemajuan, jika kita terus bersender pada kekuatan orang lain," cela Abdul Hamid, salah seorang pengurus PSIM Mataram dalam pembukaan rapat pembentukan PSSI tahun 1930 di Surakarta. Nasib IVB pun tidak jelas, kendati tidak dibubarkan, namun nyatanya IVB gagal mempersatukan bangsa Indonesia melalui sepakbola.
Sampai akhirnya, 30 April 1930 di Gedung Sositet Hande Pryo Jalan Yudonegaranm Yogyakarta, dengan sukarela IVB membubarkan diri dan muncul suatu organisasi baru, yang orang akan lebih sering menyebutnya dengan panggilan PSSI.
====
*Akun Twitter penulis: @aqfiazfan dari @panditfootball
Efek domino tersebut bermula ketika harga jual nilai ekspor hasil bumi pemerintah Kolonial Hindia Belanda di Indonesia merosot tajam di pasar Eropa. Hal ini berimbas pada banyaknya perusahan dan pabrik-pabrik yang gulung tikar.
Kondisi ini mau tak mau membuat terjadi PHK massal di berbagai daerah. Krisis ekonomi ini diperparah dengan harga jual hasil pertanian yang sangat rendah, penduduk pun enggan untuk menjadi petani, karena hasil tani hanya mampu mencukupi kebutuhan makan ala kadarnya.
Di masa kritis ini, muncul sepakbola yang semula hanya dijadikan sebagai alat untuk olahraga dan bersenang-senang, mengalami pergeseran makna menjadi 100% lahan bisnis mencari uang. Upaya industrialisasi sepakbola di bumi Nusantara pun dimulai. Pekerjaan sebagai "pemain sepakbola" mulai
dicari-cari orang. Para pencari bakat dari rombongan opera, pertunjukan sandiwara dan klub-klub sepakbola mulai berkeliling kampung ke kampung mencari bakat-bakat yang bisa laku dijual saat dipertunjukan pada penonton.
Di zaman itu, pertandingan sepakbola tak hanya di pertandingkan oleh klub saja, rombongan opera dan sandiwara pun kerap mengadakan pertandingan sepakbola. Di malam hari pemain mempersiapkan panggung, di siang harinya mereka harus bermain bola.
Sepakbola menjadi daya tarik ekonomi karenanya para penonton mulai diwajibkan membeli karcis saat pertandingan-pertandingan digelar. Reklame-reklame iklan dari berbagai macam toko pun mulai dipasang di sekeliling lapangan.
Hasil dari bisnis sepakbola ternyata cukup menggiurkan. Meskipun dompet cekak, para gila bola ini ternyata tak sungkan mengeluarkan uangnya untuk sekedar menyaksikan hiburan bola. Dalam pertandingan ujicoba persahabatan di Bandung Tahun 1922, Nederlandsch Indische Voetbal Bond (NIVB) --PSSI nya Hindia Belanda-- berhasil meraup untung 12.425 Gulden dari 12.559 orang yang hadir di lapangan pertandingan. Jumlah ini sangatlah besar di zamannya.
Berbeda dengan NIVB yang mengksploitasi sepakbola untuk keuntungan bisnis, hasil penjualan karcis pertandingan tim-tim pribumi semuanya diberikan untuk kegiatan sosial dan pendidikan.
Vorstenlandsche Voetbal Bond (VVB) --cikal Bakal Persis Solo-- berhasil menggalang dana Rp 32.000 dari turnamen sepakbola yang digelar untuk memeriahkan pasar malam untuk pelajar tahun 1924. Di tempat yang sama, tahun 1927, Muhammadiyah menggelar pertandingan yang hasil keuntungan diserahkan kepada pedagang korban kebakaran di Pasar Baru.
Dari Surakarta, Surabaya dan kembali ke Surakarta
Makin kuatnya kesadaran politik di kalangan rakyat bumiputera yang semakin bertambah membuat adanya inisiasi untuk membentuk suatu organisasi sepakbola yang mampu menyatukan semua bond-bond di berbagai daerah. Tindakan itu dilakukan karena olahraga merupakan satu pondasi alat untuk pergerakan nasional.
Realisasi mimpi ini hampir tercapai di tahun 1924 saat di mana Dr. Wediodiningrat, Djaksodipuro dan Wongsonegoro selaku pengurus VVB mendirikan suatu organisasi sepakbola seluruh Jawa yang dinamai Javasche Voetbal Bond (JVB) Sayangnya kendati kepengurusan organisasi sudah dibentuk usaha tersebut kandas, karena tidak adanya respon dari bond-bond di luar Surakarta untuk bergabung bersama mereka, JVB pun membubarkan diri.
Sebelum hadirnya JVB, Midle Javasche Voetbal Bond (MJVB) telah dibentuk di Solo untuk mempersatukan semua bond pribumi di Jawa Tengah, tragisnya MJVB mengalami nasib yang sama dengan penerusnya.
Selang 3 tahun kemudian, 2 Oktober 1927, di Surabaya berdiri organisasi baru yang dinamai Indonesische Voetbal Bond (IVB), organisasi ini diinisiasi Soebroto, R.T Tjidarboemi, A.Soeroto dan Soedarboemi. Keempat orang ini merupakan perwakilan dari empat persatuan sepakbola, yaitu Soerabaja Indonesische Voetbal Bond (SIVB), Vorsterlansche Voetbal Bond (VVB), Bandoengsche Indonesische Voetbal Bond (BIVB) dan PS Hizboel Wathan (Jogja).
Untuk memperlebar sayap IVB, maka wakil-wakil bond yang datang diberi tugas menginformasikan telah lahirnya organisasi bola milik pribumi kepada klub-klub di regionnya. R.T Tjidarboemi ke wilayah Jawa Barat, A. Soeroto ke Jawa Tengah dan Soedarboemi ke Jawa Timur. Agar terkesan lebih nasionalis, IVB menggunakan lambang "gula aren" yang berwarna warna merah dan warna putih sebagai dasar lambang mereka, tak lupa di tengahnya diberi tulisan IVB.
Untuk mempermudah kerja organisasi maka pengelolaan IVB dipusatkan di Surabaya. Penempatan ini beralasan karena hubungan harmonis antara Soerabaja Indonesische Voetbal Bond (SIVB) selaku bond pribumi dan Soerabaja Voetbal Bond (SVB) bond milik Belanda membuat persepakbolaan di Surabaya cenderung lebih adem. Kontras jika dibandingkan dengan kota-kota lain seperti Jakarta dan Bandung, di mana klub-klub pribumi mengalami banyak kesulitan saat harus bersinggungan dengan bond-bond Belanda.
Perjuangan pergerakan yang semakin memuncak dengan dideklarasikannya Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 di Jakarta, membuat sepakbola yang secara sadar dijadikan sebagai alat perjuangan mau tak mau harus makin sejalan dengan kecenderungan para aktivis pergerakan. Sayangnya, kedekatan IVB dengan insan sepakbola Belanda membuat IVB lupa diri dan melenceng dari tujuan semula.
"Bagaimanapun juga selamanya tidak akan ada kemajuan, jika kita terus bersender pada kekuatan orang lain," cela Abdul Hamid, salah seorang pengurus PSIM Mataram dalam pembukaan rapat pembentukan PSSI tahun 1930 di Surakarta. Nasib IVB pun tidak jelas, kendati tidak dibubarkan, namun nyatanya IVB gagal mempersatukan bangsa Indonesia melalui sepakbola.
Sampai akhirnya, 30 April 1930 di Gedung Sositet Hande Pryo Jalan Yudonegaranm Yogyakarta, dengan sukarela IVB membubarkan diri dan muncul suatu organisasi baru, yang orang akan lebih sering menyebutnya dengan panggilan PSSI.
====
*Akun Twitter penulis: @aqfiazfan dari @panditfootball
Tidak ada komentar:
Posting Komentar